Friday, December 14, 2012

Akibat Hukum Memakai Nama Orang Tua untuk Sertifikat Tanah

Pada tahun 2008, kami membeli sebuah rumah yang cukup besar di lokasi yang bagus. Karena harga rumah yang tinggi, akhirnya sebagian dana untuk pembelian rumah kami pinjam dari orang tua/ayah saya. Dengan pertimbangan dana pinjaman orang tua lebih besar, kami putuskan sertifikat tanah dan rumah tersebut atas nama orang tua/ayah saya. Rencananya rumah tersebut akan dihibahkan pada saya, namun belum sempat terlaksana karena ayah saya telah wafat beberapa bulan lalu. Mohon Bapak/Ibu berkenan memberi pandangan terhadap masalah saya ini. Terima kasih atas perhatian dan bantuan Bapak/Ibu.#HukumOnline.com#

Jawaban :

Dalam penjelasan Anda di atas, Anda tidak menyebutkan apakah Anda mempunyai saudara atau Anda adalah anak tunggal dari orangtua Anda.
 
Dalam hal sertifikat tanah tersebut atas nama salah satu orangtua Anda, maka berdasarkan Pasal 35 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, tanah dan rumah tersebut merupakan harta bersama orangtua Anda (dengan asumsi tidak ada perjanjian perkawinan sebelum orangtua Anda menikah), karena tanah dan rumah tersebut diperoleh dalam perkawinan. Sehingga pada saat ayah Anda meninggal, tanah dan rumah tersebut termasuk ke dalam harta warisan yang akan dibagi di antara ahli warisnya (dalam hal ini adalah Ibu Anda, Anda, dan saudara-saudara Anda).
 
Karena dalam hal ini Ayah Anda yang meninggal dunia, maka dapat diadakan pembagian harta warisan Ayah Anda dengan rincian sebagai berikut (sebagaimana pernah dibahas oleh Evi Risna Yanti, S.H. dalam artikel Pembagian Harta Warisan Ayah, Ketika Ibu Masih Hidup):
1.    setengah (1/2) dari seluruh harta bersama yang diperoleh selama masa perkawinan Ayah dan Ibu;
2.    Harta Bawaan Ayah (jika ada). Ini adalah harta yang diperoleh beliau sebelum masa pernikahan dengan Ibu;
3.    Juga bisa jadi Ayah memperoleh hadiah dari seseorang, dari keluarganya atau lembaga, maka itu juga bisa dimasukkan ke dalam harta warisan Ayah;
4.    Satu lagi adalah warisan yang diperoleh Ayah dari Pihak keluarganya, maka harta warisan tersebut dimasukkan kedalam kelompok harta warisan Ayah, yang akan dibagikan kepada semua ahli warisnya.
 
Jadi dalam hal ini, ada kemungkinan Anda akan mendapatkan tanah dan rumah tersebut sebagai warisan dari Ayah Anda.
 
Sedangkan jika sebelum meninggal, Ayah Anda telah menghibahkan tanah dan rumah tersebut kepada Anda, apabila Anda memiliki banyak saudara, ada kemungkinan tanah dan rumah yang dihibahkan tersebut dapat ditarik kembali dalam hal bagian mutlak (legitime portie) yang seharusnya diterima para ahli waris tidak terpenuhi. Hal ini sebagaimana terdapat dalam Pasal 920 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPer”) dan Pasal 924 KUHPer:
 
Pasal 920
Pemberian-pemberian atau hibah-hibah, baik antara yang masih hidup maupun dengan surat wasiat, yang merugikan bagian legitieme portie, boleh dikurangi pada waktu terbukanya warisan itu, tetapi hanya atas tuntutan para legitimaris dan para ahli waris mereka atau pengganti mereka.
 
Namun demikian, para legitimaris tidak boleh menikmati apa pun dan pengurangan itu atas kerugian mereka yang berpiutang kepada pewaris.
 
Pasal 924
Hibah-hibah semasa hidup sekali-kali tidak boleh dikurangi, kecuali bila ternyata bahwa semua harta benda yang telah diwasiatkan tidak cukup untuk menjamin legitieme portie. Bila hibah-hibah semasa hidup pewaris harus dikurangi, maka pengurangan harus dimulai dan hibah yang diberikan paling akhir, ke hibah-hibah yang dulu-dulu.
 
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. 
 
Dasar Hukum:

Letezia Tobing

Sertifikat Tanah Dipinjam Tetangga untuk Jaminan Utang

Bila sertifikat tanah saya, dipinjam oleh tetangga dengan sepengetahuan dan izin saya. Akan tetapi, tetangga itu tidak mengangsur pinjaman di bank tersebut dan sertifikat itu saat ini akan dilelang oleh bank. Tindakan apa yang bisa saya lakukan untuk mengembalikan sertifikat tanah itu, dan biar tetangga saya itu yang mengangsur? Mohon petunjuknya, terima kasih. #HukumOnline.com#

Jawaban : 


Dalam hal ini karena tanah yang menjadi jaminan atas utang tetangga Anda, maka instrumen jaminan kebendaan yang digunakan untuk membebankan tanah tersebut adalah hak tanggungan. Berdasarkan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah (“UU Hak Tanggungan”), hak tanggungan, adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain.
Dalam hal ini, menurut hukum jaminan Anda bertindak sebagai “pihak ketiga pemberi hak tanggungan”. Sebagaimana kami sarikan dari J. Satrio dalam bukunya Hukum Jaminan, Hak Jaminan Kebendaan, Hak Tanggungan, Buku 1(hal. 245-246) , pemberi hak tanggungan adalah pemilik persil, yang dengan sepakatnya dibebani dengan hak tanggungan sampai sejumlah uang tertentu, untuk menjamin suatu perikatan/utang. Sedangkan, pihak ketiga pemberi hak tanggungan adalah pihak ketiga (orang lain) yang menjamin utangnya debitur dengan persil miliknya.
Berdasarkan Pasal 6 UU Hak Tanggungan, bank memang memiliki hak untuk mengeksekusi jaminan tersebut apabila tetangga Anda sebagai debitur tidak juga membayar lunas hutangnya sesuai dengan yang diperjanjikan. Akan tetapi, apabila Anda ingin menyelamatkan tanah Anda, Anda dapat melakukannya dengan cara membayar lunas utang tetangga Anda sehingga hak tanggungan tersebut hapus karena hapusnya utang piutang tersebut (Pasal 18 ayat [1] huruf a UU Hak Tanggungan). Hal ini juga sejalan dengan ketentuan Pasal 1382 ayat 2 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPer”) yang mengatakan bahwa suatuperikatan bahkan dapat dipenuhi oleh pihak ketiga yang tidak berkepentingan, asal pihak ketiga itu bertindak atas nama dan untuk melunasi utang debitur, atau asal ia tidak mengambil alih hak-hak kreditur sebagai pengganti jika ía bertindak atas namanya sendiri.
Lebih lanjut, J. Satrio (ibid, hal. 241) juga mengatakan bahwa menurut doktrin, kewenangan pihak ketiga bezitter objek jaminan untuk membayar utang debitur tidak hanya ada, saat ia menghadapi eksekusi, tetapi juga sebelumnya, asal kewenangan itu dalam perjanjian tidak disingkirkan. Hanya saja, menurut Satrio, kesempatan menghindarkan penjualan lelang objek hak tanggungan (eksekusi tanah tersebut) hanya sampai “saat pengumuman untuk lelang dikeluarkan” sehingga sesudah itu tidak ada kesempatan lagi (hal. 278). Akan tetapi, dia lebih lanjut berpendapat, sebagaimana kami sarikan, bahwa adalah tidak logis kesempatan menghindari penjualan lelang ditentukan terbatas sekali. Tidak menjadi masalah apabila batas tersebut ditetapkan sampai sesaat sebelum lelang dilaksanakan asalkan semua biaya yang dikeluarkan oleh kreditur diganti oleh pihak yang melunasi utang tersebut.
Setelah Anda melunasi utang tersebut kepada bank atas nama Anda sendiri, bukan melunasi atas nama tetangga Anda (debitur), maka Anda akan menggantikan kedudukan bank sebagai kreditur dari tetangga Anda. Berdasarkan Pasal 1401 ayat 1 jo. Pasal 1400 KUHPer, hal ini dinamakan dengan subrogasi dan harus dinyatakan dengan tegas dan dilakukan tepat pada waktu pembayaran. Akan tetapi, berdasarkan Pasal 1402 angka 3 KUHPer, pembayaran yang Anda lakukan dapat dianggap subrogasi yang terjadi demi undang-undang, karena Anda merupakan pihak yang membayar utang tersebut karena ada kepentingan untuk melunasinya.
Pasal 1402 angka 3 KUHPer:
Subrogasi terjadi karena undang-undang:
1.     …….;
2.     …….;
3.     untuk seorang yang bersama-sama dengan orang lain, atau untukorang lain, diwajibkan membayar suatu utang, berkepentingan untuk membayar suatu utang, berkepentingan untuk melunasi utang itu;
4.     ……..
Jadi, cara untuk menyelamatkan tanah Anda adalah dengan membayar utang tetangga Anda dan sebagai akibatnya Anda mempunyai hak untuk menagih kepada tetangga Anda atas pelunasan utang yang telah Anda lakukan. Sehingga utang piutang tersebut kemudian bukan lagi antara bank dengan tetangga Anda, tetapi menjadi antara Anda dengan tetangga Anda.
Akan tetapi perlu diketahui bahwa Anda tidak bisa menyelamatkan tanah Anda dengan menggunakan jalur hukum memaksa tetangga Anda membayar utangnya pada bank karena tetangga Anda memiliki hubungan hukum utang piutang dengan bank, sehingga yang dapat menggunakan jalur hukum untuk memaksa tetangga Anda membayar utangnya berdasarkan perjanjian utang piutang hanyalah bank.
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar Hukum:

Berapa Lama Daluarsa suatu utang Piutang

Suami saya pernah meminjamkan uang kepada salah seorang temannya tanpa perjanjian (sebutlah si H), sehingga langsung ditransfer begitu saja oleh suami saya. Kejadian itu terjadi sekitar 4 tahun lalu, kemudian suami saya jatuh sakit 1 tahun kemudian, mengalami sakit jantung dan amnesia akut. Namun, belakangan suami mulai ingat lagi atas peminjaman uangnya kepada si H, dan kami akan berusaha menagih dalam waktu dekat untuk membayar utang yang menumpuk karena biaya pengobatan. Pertanyaan saya, apakah utang tersebut bisa hangus, karena tidak ada perjanjian dan tidak terurus selama beberapa Tahun? Dan apa yang harus saya lakukan jika si H tidak mau membayar utangnya? Nominal peminjaman sekitar Rp300 juta dan berlokasi di Surabaya. Trims atas jawabannya. #HukumOnline.com#


JAWABAN :
Pada dasarnya, perbuatan meminjamkan uang tersebut adalah perjanjian pinjam meminjam atau lazimnya disebut dengan perjanjian utang piutang. BerdasarkanPasal 1754 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPer”), pinjam meminjam adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu barang-barang yang menghabis karena pemakaian, degan syarat bahwa pihak yang meminjam akan mengembalikan sejumlah yang sama dari macam dan keadaan yang sama pula.
 
Melihat pada pengertian di atas, maka utang piutang adalah perjanjian, yang mana dalam sebuah perjanjian, tidak disyaratkan bahwa perjanjian harus dalam bentuk tertulis. Perjanjian bisa dalam bentuk lisan ataupun tertulis, selama memenuhi persyaratan perjanjian dalam Pasal 1320 KUHPer, yaitu:
a.    Sepakat dari mereka yang mengikatkan dirinya;
b.    Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
c.    Suatu hal tertentu;
d.    Suatu sebab yang halal.
 
Jadi, selama perjanjian utang piutang tersebut memenuhi 4 (empat) syarat di atas, maka walaupun tidak dalam bentuk tertulis, perjanjian utang piutang tersebut sah mengikat kedua pihak. Berdasarkan Pasal 1338 KUHPer, semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Perjanjian tersebut tidak dapat ditarik kembali kecuali ada kesepakatan dari kedua belah pihak dan para pihak harus melaksanakan perjanjian tersebut dengan iktikad baik.
 
Berdasarkan perjanjian tersebut, maka H memiliki kewajiban (prestasi) yang harus ia penuhi yaitu mengembalikan uang suami Anda. Mengenai apakah hangus atau tidak, mungkin yang Anda maksud adalah apakah utang tersebut hapus atau tidak karena tidak ada perjanjian tertulis dan tidak terurus.
 
Perjanjian sendiri merupakan suatu cara untuk melahirkan perikatan, sebagaimana tercantum dalam Pasal 1233 KUHPer, yang mengatakan bahwa “tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena persetujuan, baik karena undang-undang”. Berdasarkan Pasal 1381 KUHPer, perikatan hapus karena:
a.    karena pembayaran;
b.    karena penawaran pembayaran tunai, diikuti dengan penyimpanan atau penitipan;
c.    karena pembaruan utang;
d.    karena perjumpaan utang atau kompensasi;
e.    karena percampuran utang;
f.     karena pembebasan utang;
g.    karena musnahnya barang yang terutang;
h.    karena kebatalan atau pembatalan;
i.      karena berlakunya suatu syarat pembatalan, yang diatur dalam Bab I buku ini; dan
j.     karena lewat waktu, yang akan diatur dalam suatu bab sendiri.
 
Jika yang Anda maksud apakah bisa hapus utang tersebut karena tidak terurus, yang dalam hal ini karena lewat waktunya, maka berdasarkan Pasal 1967 KUHPer, perjanjian utang piutang tersebut baru hapus setelah lewat 30 (tiga puluh) tahun, sedangkan dalam kasus Anda baru 4 (empat) tahun.
 
Pasal 1967 KUHPer:
Semua tuntutan hukum, baik yang bersifat kebendaan maupun yang bersifat perorangan, hapus karena lewat waktu dengan lewatnya waktu tiga puluh tahun, sedangkan orang yang menunjuk adanya lewat waktu itu, tidak usah menunjukkan suatu alas hak, dan terhadapnya tak dapat diajukan suatu tangkisan yang didasarkan pada itikad buruk.
 
Jadi berdasarkan uraian di atas, perjanjian utang piutang antara suami Anda dan temannya tersebut tidak menjadi hapus karena tidak adanya perjanjian tersebut dalam bentuk tertulis atau hapus karena lewatnya jangka waktu.
 
Yang dapat Anda lakukan sebaiknya membicarakan hal tersebut secara kekeluargaan terlebih dahulu dengan H agar ia membayar utangnya karena suami Anda dan Anda membutuhkannya uang tersebut. Jika H tidak mau membayar utangnya, suami Anda dapat menggugat H secara perdata atas dasar wanprestasi karena tidak memenuhi kewajibannya (prestasinya) dalam perjanjian utang piutang yaitu mengembalikan uang yang dipinjamnya dari suami Anda.
 
Berdasarkan cerita Anda, tidak disebutkan apakah ada kesepakatan antara suami Anda dengan H mengenai waktu pembayaran utang tersebut. Dalam hal tenggang waktu pembayaran utang tidak ditentukan, Anda perlu memperingati H supaya dia memenuhi kewajibannya terlebih dahulu sebelum Anda melakukan gugatan perdata. Peringatan tersebut Anda lakukan secara tertulis atau disebut juga dengan somasi sebagaimana diatur dalam Pasal 1238 KUHPer. Jika H tidak juga memenuhi kewajibannya setelah suami Anda memberikan somasi, maka suami Anda bisa menggugat H atas dasar wanprestasi. Begitu pula apabila waktu pembayaran telah ditentukan sebelumnya, suami Anda juga harus memberikan somasi terlebih dahulu sebelum menggugat secara perdata.
 
Pasal 1238 KUH Per:
“Si berutang adalah lalai, apabila ia dengan surat perintah atau dengan sebuah akta sejenis itu telah dinyatakan lalai, atau demi perikatannya sendiri, ialah jika ini menetapkan, bahwa si berutang harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan.
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

Dasar Hukum:





Sunday, December 2, 2012

PRAPERADILAN

Dalam Pasal 1 Ayat 10 KUHAP arti dari Praperadilan adalah :

  1. Sah atau tidaknya suatu penankapan dan atau penahanan, dapat diajukan oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka.
  2. sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan, hal ini dapat diajukan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan.
  3. Permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan
Praperadilan dapat di Ilhami bahwa hal ini adalah hal yang berfungsi sebagai pengawasan maupun melakukan tindakan